Selamat Datang Di Website KUA Kecamatan Bangorejo Kabupaten Banyuwangi, KUA Yang Terdepan Dalam Pelayanan Berbasis IT

Puasa dan Nafsu Kekuasaan

Oleh : Zaenal Abidin
PNS bekerja di KUA Kecamatan Bangorejo Banyuwangi


Puasa Ramadan memang merupakan ibadah vertikal (mahdlah). Tapi, dimensinya juga sarat dengan nuansa horisontal. Dimensi ini pun tidak hanya sosial saja, tapi juga menyentuh esensi kehidupan berpolitik, baik sebagai individu maupun masyarakat bahkan negara.
Untuk menelusuri dimensi pembangunan kehidupan berpolitik yang ada dalam ibadah puasa itu, kita perlu menelaah landasan dasar puasa itu sendiri. Dalam hal ini kita dapat mencatat bahwa puasa -- secara harfiah -- bermakna menahan diri dari keinginan (nafsu) jasmani dan ruhani, sejak terbit fajar (matahari) hingga terbenam. Makna harfiah ini sebenarnya merupakan konsep bagaimana membangun pengendalian diri manusia. Pengendalian menjadi hal krusial sejalan dengan kecenderungan manusia yang senantiasa mengekspresikan keinginan atau nafsunya tanpa batas, setidaknya melampaui batas atau tidak senang dibatasi. Sementara, bentuk ekspresi seperti ini sering mengakibatkan ekses negatif bagi orang lain di samping bagi dirinya sendiri atau makhluk lainnya ; binatang, tumbuhan dan lingkungan hidup. Melalui Ramadan , Allah SWT memberikan jalan memproses pembentukan pengendalian diri agar bisa lebih efektif.
Kini, sebuah urgensi yang cukup penting untuk kita renungkan bersama adalah bagaimana merefleksikan esensi pengendalian diri dalam tataran aksi publik, baik sebagai pelaku politik, penguasa dari sektor manapun dan masyarakat sebagai rakyat.
Setiap Ramadan datang, setiap kali pula kita diingatkan tentang pentingnya mengekang dan mengendalikan hawa nafsu. Sedemikian pentingnya hingga perang melawan hawa nafsu, disebut lebih berat daripada perang fisik yang kolosal sekalipun. Seruan agar kita mengekang hawa nafsu bahkan sudah terdengar jauh-jauh hari menjelang Ramadan . Seruan itu menjadi amat relevan di tengah suasana hiruk pikuk politik dan perburuan merebut kursi kekuasaan lima tahun ke depan yang telah berlalu, baik di legislatif maupun eksekutif. Apalagi sesudah dilantiknya anggota dewan Kabupaten Banyuwangi beberapa hari lalu.
Pertanyaan yang patut kita kemukakan adalah, apakah kita sanggup berpuasa dengan keikhlasan hati dan kejernihan otak di tengah rimba perburuan kekuasaan yang sering menomorduakan idealisme keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat ? Di situlah justru terletak tantangan itu, khususnya bagi pelaku politik di daerah ini.
Nafsu dan syahwat kekuasaan yang mestinya menjadi energi utama demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, sering dibelokkan hanya untuk tujuan kemewahan dan kekuasaan golongan atau pribadi.
Dalam situasi seperti itu, kita masih sering menyaksikan elite politik kita menerabas segala kepatutan, bahkan menghalalkan segala cara, demi meraih materi dan kekuasaan golongan atau pribadi. Janji-janji surgawi politik -- pada saat kampanye untuk mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan -- menjadi tinggal janji ketika kekuasaan sudah digenggam.
Di saat yang sama, Ramadan memberi pesan tentang besarnya resiko dan dosa sosial dari ingkar janji dan selingkuh politik.
Masihkah tersisa di dada para politisi kita itu nilai-nilai Ramadan dan seberapa besar dampak positif puasa bagi mereka ?
Di saat moral berpolitik dan etika meraih kekuasaan sudah mulai melemah dan menjauh dari nilai-nilai agama, puasa Ramadan menjadi alarm untuk mengingatkannya. Dan saat pengingkaran amanat rakyat terus menguat, puasa Ramadan menjadi sarana untuk meluruskannya.
Puasa dalam wilayah politik semestinya membuat kita bersedia membuka hati, menerima kritik dan saran walau pedas sekalipun. Puasa bukan hanya sekadar open house, yakni menyediakan segudang makanan dan minuman untuk disantap dan diminum banyak orang saat magrib tiba. Tetapi puasa Ramadan seharusnya bisa membuat mutu hidup dan moral para pelaku politik serta penguasa semakin baik dan berkualitas. Sehingga pesan Nabi " hanya makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang" dapat mengerem syahwat dan nafsu kekuasaan yang tak berujung.
Puasa selalu datang dengan beribu-ribu harapan dan janji surgawi. Sayang, belum banyak yang benar-benar berubah setelah berkali-kali menjalani terapi rohaniah itu. Masih saja tumbuh dan berkembang selingkuh kekuasaan serta dusta atas janji-janji politik.
Agama mengajarkan kepada kita tentang pentingnya punya rasa malu. Malu jika sudah berkali-kali dan bertahun-tahun berpuasa, tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga.
Melalui puasa Ramadan tahun ini, kepada anggota dewan terpilih, penguasa dan kepada kita, semuanya harus malu jika kita terus mengulangi kegagalan untuk menundukkan nafsu apalagi nafsu kekuasaan.

Artikel ini dimuat Radar Banyuwangi Rabu 02 September 2009

bagaimana Menurt Anda Web Ini ?

Informasi Pengguna

IP
 

Copyright © 2009 by KUA Kecamatan Bangorejo

Desing By Fians Design web | Admin